Jumat, 24 Juli 2009

Romantisme Melayu dalam Koba

Oleh
Amirullah

Romantisme bisa juga disebut keceriaan dalam bercerita bagi si pembawa koba. Atau bisa juga sesuatu yang menimbulkan rasa sedih, gembira, girang, lucu, nilai-nilai, pesan-pesan dan segala sesuatu yang membuat penonton (penikmat) merasakan sesuatu yang menohok dirinya. Sedang Melayu sendiri merupakan ras yang tak terpisahkan dari bumi Riau. Melayu sudah menjadi suatu roh bagi masyarakat Melayu itu sendiri. Jika Melayu tak ada, singkatnya maka Riau belumlah bisa disebut Riau. Maka Melayu adalah roh-nya Riau. Sedangkan Riau adalah tanah air bagi kehidupan Melayu.

Koba merupakan tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya dinyanyikan. Pelakunya biasa disebut sebagai “tukang koba”. Koba dapat ditampilkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Koba berkembang di negeri-negeri di sepanjang pesisir dan pedalaman Sungai Rokan (sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Rokan Hulu) yang memakai bahasa Melayu logat Rokan, dan di Mandau (sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Bengkalis) yang memakai bahasa Melayu logat Sakai.

Tradisi lisan ini ditampilkan pada malam hari sesudah Isya, kadang sampai pagi. Bila dalam satu malam cerita yang disajikan belum tamat, maka koba dilanjutkan pada malam berikutnya, sehingga seringkali untuk menamatkannya diperlukan waktu sampai enam malam. Pertunjukan koba berlangsung sebagai ekspresi bebas dan professional tukang koba, atau bersempena perayaan-perayaan sosial seperti perhelatan pernikahan, sunat rasul, mencukur anak, dan lain-lain. Penyajian koba yang profesional dilaksanakan di tempat-tempat keramaian (seperti di los-los pasar), atau di rumah keluarga yang punya hajat. Tempat penampilan tidak memerlukan ruang dan penataan khusus.

Sebagian koba dinyanyikan tanpa musik pengiring, sebagian lagi menggunakan musik pengiring, tergantung pada tukang kobanya masing-masing. Jika memakai musik pengiring, alat musik yang dipakai adalah rebana atau gendang, yang dimainkan oleh tukang kobanya sendiri. Gendang atau rebana berfungsi sebagai pengatur ritma dendang yang dibawakan tukang koba. Setiap koba memiliki irama dendangnya masing-masing.

Menjelang koba disajikan, tukang koba biasanya makan sirih bersama-sama khalayak. Kemudian dia mendendangkan sejumlah pantun yang berisikan kisah singkat perjalanan hingga sampai di tempat berkoba, dan menyampaikan terima kasih kepada khalayak yang hadir. Adakalanya, khalayak membalas pantun-pantun yang disampaikan tukang koba. Bila tukang koba menggunakan alat musik, maka penceritaannya selalu diawali dengan pukulan-pukulan ritmis gendang.

Di sepanjang penceritaan, tukang koba mengambil waktu jeda. Waktu untuk beristirahat ini diisi dengan minum kopi, merokok, sambil makan sirih, serta berbincang dengan khalayak. Isi perbincangan beragam, bisa mengenai penggal cerita yang baru dituturkannya, bisa pula mengenai kehidupan sehari-hari dirinya atau khalayaknya. Bila waktu jeda dirasakan oleh khalayak terlalu lama, maka di antara khalayak akan ada yang menyindir dengan mendendangkan pantun. Pantun sindiran itu biasanya dijawab oleh tukang koba, dan ‘jual-beli’ pantun di antara dua bagian penceritaan ini menambah hangat suasana. Suasana hangat juga dibangun melalui pantun berkias tukang koba tentang kecantikan, perangai, dan kata-kata salah seorang atau lebih khalayaknya. Bagi tukang koba profesional, menunda-nunda kelanjutan cerita tersebut juga dimaksudkan sebagai pemancing minat khalayak, dan khalayak yang tidak sabar dapat menawarkan dan memberikan bayaran tambahan kepada tukang koba, agar kobanya segera dilanjutkan. Dengan demikian, keseluruhan suasana dalam peristiwa berkoba semakin akrab, bersahaja, dan cenderung gembira atau menghibur.

Cerita-cerita yang disajikan tukang koba, umumnya adalah pengembaraan tokoh atau pahlawan-pahlawan rekaan lokal, dengan bentang-ruang horisontal yang terbatas pada selat-selat, teluk, tanjung, sungai-sungai, dan daratan pesisir. Sedangkan bentang-ruang vertikalnya mencakup bumi hingga kayangan. Sebagian kecil dari korpus cerita koba dianggap sakral, karena menceritakan tokoh yang dikeramatkan oleh tukang koba. Untuk cerita yang demikian, penceritaannya tidak memerlukan perlakuan khusus. Namun saat menamatkannya, tukang koba melakukan ritual tertentu, dengan berdoa dan menyembelih ayam atau kambing pada petang sebelum cerita itu ditamatkan. Orang yang punya hajat juga harus menyediakan seperangkat persembahan kepada tukang koba, yang terdiri dari pisau belati, sekabung kain putih, dan limau purut.

Koba-koba yang terkenal misalnya Koba Panglimo Awang Koba Gadih MudoCik Nginam, Koba Panglimo Dalong, dan Koba Dang Tuanku dan banyak lainnya.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites