Kamis, 16 Juli 2009

Seni Pertunjukan Riau


Oleh: Elmustian Rahman, dkk

Riau menjadikan kesenian sebagai titik memulai (starting point) dengan memposisikan unsur kesenian sebagai inti lingkaran unsur-unsur kebudayaan, dan memposisikan unsur kebudayaan lainnya di lingkar luar yang saling mengait dengan lingkar inti. Sebagai inti, kesenian Riau dapat dipandang sebagai spirit terhadap siklus kehidupan orang-orang Melayu, karena unsur-unsur seni menyusup dan menghiasi hampir semua tatanan kehidupan orang-orang Melayu. Unsur seni dapat ditemukan berhubung-kait dengan sistem religius (kepercayaan). Setiap seni bagi orang Riau adalah produk gagasan, dan gagasan selalu bersumbu pada keyakinan akan sesuatu yang mutlak. Seni-seni Melayu adalah seni-seni yang terikat kepada kepercayaan ketuhanan, dan untuk sebagian besar kewujudannya bahkan mengekspresikan sekaligus memperteguh kepercayaan itu, seperti tergambar dalam sejumlah syair dan hikayat didaktik-religius Islam yang populer di tengah-tengah masyarakat Melayu.


Syair, hikayat, kayat, legenda-legenda, berbagai nyanyian rakyat, dan seluruh kekayaan tradisi lisan dan tertulis Melayu menampilkan unsur seni yang berada dalam siklus (pusaran) bahasa. Sedangkan kaitannya dengan sistem teknologi, terdapat dalam berbagai corak seni-bina (arsitektur), tenunan, dan kerajinan, yang menampilkan ornamen-ornamen serta corak-ragi yang khas. Unsur kesenian yang mengait dengan sistem pengetahuan sebagian besar terbangun dari hubungan dialogis manusia dengan alam (tumbuhan dan hewan), yang telah mengilhami lahirnya pengetahuan orang-orang Melayu Riau tentang ramuan dan obat-obatan, ilmu lebah, ilmu padi, dan sebagainya, yang tampil dalam berbagai bentuk ekspresi seni. Dalam kaitannya dengan sistem organisasi kemasyarakatan, kesenian tampil mengusung tataran nilai-nilai, norma-norma, dan pantang-larang sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Upacara-upacara adat yang menjadi ekspresi ikatan sosial dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial tersebut juga hadir dalam wujud yang estetis dan sukar dipisahkan dengan ekspresi-ekspresi seni. Sedangkan dengan sistem mata pencaharian, kesenian terhubung secara erat dengan siklus perekonomian yang digeluti orang Melayu. Melalui berbagai genre seni pertunjukan dan sastra, misalnya, batobo yang hadir sebagai seni fungsional dalam peristiwa ekonomis gotong royong, dan sangat nyata dalam peristiwa ekonomi “Tapan Lapan”. Istilah ini merupakan sebutan khusus untuk menjelaskan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh orang Melayu yang menunjukkan jenis pekerjaan sebagai sumber pendapatan keluarga Melayu.

Kesenian adalah kehidupan itu sendiri
Bagaimana melihat keterkaitan kesenian dengan sistem mata pencaharian masyarakat Riau “Tapak Lapan” tersebut? Memadailah ringkasan berikut ini. Sumber pendapatan orang Melayu Riau itu berasal dari pekerjaan (1) berladang (pertanian), (2) beternak (peternakan), (3) menangkap ikan (perikanan), (4) beniro (menetek enau dan kelapa), industri pengolahan hasil pertanian (agroindustri), (5) mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut (perhutanan), (6) berkebun tanaman keras atau tanaman tahunan (perkebunan), (7) bertukang, dan (8) berniaga (perdagangan).


Dalam konsep seperti itu, masyarakat Melayu Riau tidak hanya mengerjakan satu jenis pekerjaan saja. Biasanya apabila waktu pagi mereka berkebun, sorenya mereka menangkap ikan, dan adakalanya juga selesai berkebun mereka mencari hasil hutan salah satu kegiatannya seperti beniro (mengambil air nira). Ketika musim hujan dan tidak bisa memotong karet, maka orang Melayu melakukan kegiatan berkebun atau bertani, seterusnya ketika kemarau berkepanjangan maka saatnya orang Melayu meramu hasil hutan.


Tujuannya adalah selain meragamkan (diversitifikasi) sumber pendapatan juga merupakan strategi untuk menghadapi kegagalan atau krisis akibat dari hanya satu pekerjaan sebagai sumber pendapatan. Ini juga merupakan taktik atau cara jangka pendek masyarakat Melayu dalam menggunakan sumber daya alamnya, maupun berhubungan dengan peristiwa atau keadaan ekonomi sesaat. Untuk melaksanakan kegiatan tersebut berarti mereka harus mempunyai pengetahuan yang baik tentang alam dan lingkungan hidupnya, serta kiat atau teknik menghasilkan sesuatu yang berguna secara ekonomis dari sumber dan lingkungannya. Sebab dengan pola itu, mereka bisa melihat hubungan dan saling ketergantungan antara manusia dengan alam, serta hubungan antara flora dan fauna dengan hutan tanah. Tujuan lainnya adalah upaya orang Melayu Riau dalam menghadapi krisis ekonomi. Dan, menghindari krisis tersebut untuk mencukupi dengan melakukan penggantian pekerjaan dengan pekerjaan yang lebih tepat dan sesuai untuk memenuhi kebutuhan tersebut.


Delapan macam mata pencaharian ini, juga memperlihatkan betapa Melayu di Riau mempunyai khazanah budaya yang panjang. Budaya masyaraka Melayu tersebut adalah budaya perairan, laut (maritim), pesisir, aliran sungai, niaga (dagang), dan bandar (pelabuhan). Budaya Melayu dengan paradigma yang demikian, telah membentuk mentalitas mereka menjadi manusia yang independen, pragmatik, mudah bergerak ke mana-mana (mobil) bila bersaing, memperlihatkan kualitas teknis serta punya harga diri yang tinggi.


Dari sistem ekonomi “Tapak Lapan” tersebut, melekat peristiwa kesenian, mulai dari mitos, legenda, pantun, syair, randai hingga ke pertunjukan, dan ritual serta upacara-upacara adat. Pekerjaan berladang ada ritual dan upacara menanam padi hingga pasca menuai, antara lain betobo. Pada peristiwa menangkap ikan orang angkan bersyair seperti syair Rantau Kopa (Rokan) dan Mararuah (Rantau Kuantan). Pekerjaan beniro dimulai dengan ritual dan mantera-mantera. Pekerjaan mengambil atau mengumpulkan hasil hutan atau laut serta berkebun dimulai dengan ritual Menetau Tanah dan upacara turun ke laut. Pekerjaan bertukang juga didahului oleh menetau rumah. Begitu pula dengan berniaga orang akan menonjolkan budi bahasa.


Posisi kesenian sebagai inti dengan demikian sangat ditentukan oleh unsur lain dalam kebudayaan, seperti reliji, bahasa, organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem ekonomi, sistem teknologi, dan sistem kesenian itu sendiri. Unsur seni ukir yang terdapat di ornamen-ornamen rumah Melayu eksistensinya ditentukan oleh ketersediaan alam menyediakan kayu-kayan sebagai bahan baku utamanya. Dengan demikian, hutan (alam) menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi terbinanya seni ukir Melayu. Hal yang sama dapat pula dihubungkan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, dan sistem pengetahuan.


Punahnya rimba kepungan sialang dan hutan pada umumnya menyebabkan terancam dan hilangnya pencaharian pengambil madu dan peladang. Seiring dengan itu, maka unsur-unsur kesenian yang melekat pada siklus pekerjaan tersebut juga ikut menghilang, karena tidak lagi dipraktekkan sebagaimana biasanya. Syair-syair dan mantera-mantera yang dilantunkan pada siklus pengambilan madu (menumbai) tak akan bisa dilantunkan lagi bila pekerjaan mengambil madu tersebut tidak lagi menjadi sistem mata pencaharian orang-orang Melayu. Upacara-upacara ritual yang melekat pada siklus kehidupan peladang, tidak akan dilakukan lagi bila orang-orang Melayu tidak menjadikan berladang sebagai sistem mata pencahariannya.

Seni budaya Melayu Riau: tradisional dan modern
Berdasarkan bentuk dan proses penciptaannya, seni budaya Melayu di Riau dapat dikelompokkan ke dalam seni-seni tradisional dan seni-seni modern. Dalam bentuk aslinya, seni-seni tradisional hadir bersahaja, merespon lokalitas lingkungan (sosial dan alam), dan memenuhi keperluan-keperluan praksis komunitas petani subsistem serta perdagangan terbatas yang menjadi ciri utama masyarakat Riau masa lampau. Keterbukaan wilayah Riau terhadap dunia luar menyebabkan masyarakat di kawasan ini mengalami interaksi yang relatif intensif dengan orang-orang dan gejala-gejala kebudayaan luar. Intensitas interaksi dengan gejala dari dunia luar tersebut mengakibatkan perubahan dan dinamika internal yang lebih rancak (cepat) secara sosio-kultural pada masyarakat Melayu di rantau ini, yang pada gilirannya mempengaruhi pula perkembangan bentuk, struktur, dan kuantitas kosa (vocabulaire) seni tradisional Melayu tersebut.
Perkembangan bentuk dan struktur yang timbul akibat interaksi sosial-budaya dengan dunia luar adalah hal yang lazim dalam setiap sejarah kesenian Riau. Oleh karena kesenian tradisional adalah produk kolektif masyarakat, dan berakar tunjang pada masyarakat yang menghasilkannya, maka perubahan-perubahan yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat pendukungnya akan menyebabkan bentuk dan struktur luaran kesenian tersebut juga berkembang dari waktu ke waktu. Dalam konteks kesenian Melayu tradisional Riau, perubahan bentuk dan struktur tersebut merupakan respon terhadap perubahan sosial-budaya yang berlangsung di dalam kehidupan masyarakat di Riau dari waktu ke waktu. Sering kali pula daya tahan hidup seni tradisional Riau itu justeru ditentukan oleh kemampuannya merespon perubahan sosial-budaya tersebut.


Sebagai contoh, adalah seni pertunjukan tradisional Randai Kuantan. Namanya jelas sama dengan genre pertunjukan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, dan secara historis interaksi antara masyarakat Kuantan dengan Minangkabau pada abad-abad lampau memang berlangsung intensif (Barnard: 2006). Oleh karena itu, cukup banyak orang berpendapat bahwa Randai Kuantan berasal(!) dari Sumatera Barat, dan bukan ‘seni asli’ orang Kuantan. Tetapi belakangan, setidak-tidaknya sejak awal abad ke-20, pilihan lakon dan struktur pengadeganan Randai Kuantan memiliki perbedaan yang mendasar dengan Randai Sumatera Barat. Demikian pula penglibatan khalayaknya: lingkaran pemain Randai di Sumatera Barat adalah bangunan pemisah antara ruang permainan dengan khalayaknya, dan hanya boleh diisi secara eksklusif oleh pemain yang sudah ditentukan; sedangkan pada Randai Kuantan, pemisah itu bersifat inklusif, bisa diisi oleh khalayak yang berminat berjoget(!) di celah yang menghubungkan dua adegan. Perubahan tersebut berkaitan erat dengan pergeseran ruang dan intensitas interaksi masyarakat rantau Kuantan, dari kebudayaan Minangkabau di hulu, dengan masyarakat dan fenomena kebudayaan Melayu di hilir (Selat Melaka dan tanah semenanjung). Lakon, struktur adegan, dan perangkat teknis perpindahan latar kejadian dalam lakonan dalam bentuk musik, nyanyi, dan joget bergeser ke ‘hilir’ yang Melayu. Manakala musik dangdut meluas, elemen-elemen musikalitas pada Randai Kuantan ikut pula mengadopsi fenomena tersebut, sehingga sampai kini Randai relatif berjaya mempertahankan kehidupannya di tengah-tengah masyarakat Kuantan.


Lain lagi dengan fenomena seni Barzanji, Zapin, dan lain-lain yang sangat luas dikenal di Alam Melayu. Seni-seni ini muncul setelah Islam mengalami interiorisasi di tengah-tengah kehidupan orang Melayu di Riau. Artinya, penerimaan orang Melayu terhadap Islam bukan hanya penerimaan keyakinan-keyakinan dogmatis-keagamaan, tapi juga sebagai sumber bagi pemerkayaan khasanah kebudayaan Melayu itu sendiri.


Dengan demikian, semakin terbuka kawasan dan masyarakat Riau, semakin subur interaksinya dengan dunia luar, semakin berkembang jenis kesenian tradisionalnya, dan semakin rancak (capat) pula perubahan bentuk dan struktur kesenian tradisional tersebut. Sementara itu, di kawasan pedalaman yang relatif kurang tersentuh perubahan, jenis dan bentuk-bentuk seni upacara dan/atau ritual tetap bertahan. Upacara pengobatan Belian pada suku asli Petalangan dan Talang Mamak atau Bedewo (Bonai) dan Bedikei (Sakai, Hutan, dan Akit), misalnya, relatif masih bertahan dengan bentuk dan struktur aslinya, karena kawasan tempat hidup para pendukungnya berada di pedalaman dan kurang berpeluang mengakses dan berinteraksi dengan dunia luar. Hal-hal seperti ini merupakan kekayaan Riau dan memberikan peluang untuk dikaji dalam pelbagai aspek.


Genre yang relatif sama fungsinya (untuk pengobatan) juga terdapat dalam kehidupan masyarakat Melayu di kampung-kampung, yang antara lain disebut Bedukun. Tetapi strukturnya lebih padat, terutama karena ritual perjalanan pelaku utamanya (kemantan atau gemantan) tidak lagi menelusuri kompleksitas ruang vertikal menuju dunia dewa-dewa, melainkan lebih bersifat penjelajahan simbolik untuk mencari dan menemukan kuasa luar biasa di dunia horisontal yang dipercaya bermukim pada diri makhluk tertentu (manusia, harimau atau buaya penunggu, misalnya). Teratak, dusun-dusun, dan kampung adalah ruang yang menengahi kecepatan dan kelambatan perubahan yang ditimbulkan oleh interaksi. Dalam konteks Bedukun, hal itu dikesankan oleh pemendekan upacara (kesadaran praksis tentang waktu, yang dialirkan oleh interaksi dengan dunia luar) dan pergeseran ruang ke dunia horisontal-mitis (kesadaran tauhid bahwa puncak kuasa tertinggi itu adalah tunggal).


Demikianlah, bentuk-bentuk seni Melayu tradisional di Riau hakikatnya tak pernah tetap dan tak mungkin dikunci dalam ruang kedap udara perubahan. Bersama waktu, hakikat ruang Alam Melayu yang terbuka dari segala penjuru, cepat atau lambat, senantiasa akan menyusupkan interaksi sebagai determinan perubahannya. Oleh karena itu, kata kunci tradisionalitas seni-seni Melayu di Riau bukanlah terletak pada dikotomi asli ><>

3 komentar:

Ironis memang, mengapa judul blog ini tidak menggunakan bahasa Melayu? "Orang Melayu yang sebenarnya" haruslah menggunakan bahasa Melayu (ingat Melayu sebagai konsep budaya). Bahasa kan identitas suatu kelompok. Apa kata gurindam Raja Ali Haji? "Kalau hendak mengenal orang berbangsa, lihatlah kepada budi dan bahasa." Orang mano kito, orang Inggris?

infonya membantu,terimakasih pak...

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites